Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Menyoal kemandirian pangan nasional

BERAS sebagai makanan pokok penduduk Indonesia telah kita usahakan agar tercapai swasembada. Tetapi revolusi hijau sebagai kendaraan yang membawa kita berswasembada beras baru dua kali tercapai yaitu 1984 dan 2004. Dengan demikian selama hampir setengah abad pembangunan pertanian, sejak pertengahan tahun 1960-an, ada momen-momen kita mencapai swasembada namun selebihnya ibarat permainan yoyo, naik turun, pada sisi produksi, meski di sisi konsumsi cenderung naik terus karena pertambahan jumlah penduduk. Artinya produksi beras belum mampu secara lestari dan berkelanjutan menjamin kecukupan pangan pokok dan kekurangannya selalu kita penuhi dari impor.
Peningkatan produksi beras melalui revolusi hijau juga memberikan ekses yang tidak sedikit. Dari segi bio-fisik, lahan-lahan pertanian mengalami kemerosotan sifat fisika-kimia-biologi karena pemupukan kimia yang berat.
Pestisida sebagai racun pemusnah hama dan penyakit meninggalkan residu yang mencemari tanah dan air serta menjadi racun bagi manusia dan hewan. Muncul pula masalah lain seperti resistensi hama, resurgensi hama, dan ledakan hama sekunder. Akibatnya petani semakin tergantung pada penggunaan pestisida dengan permasalahan yang semakin kompleks dan rumit pula.
Dari segi sosial ekonomi, kesejahteraan yang diharapkan petani masih jauh panggang dari api. Petani terutama petani pangan lebih banyak mengalami kemerosotan nilai tukar. Tetesan keringat mereka adalah penderitaan dan tidak menghasilkan kesejahteraan bagi keluarganya.
Fragmentasi lahan baik fisik maupun kepemilikan meningkatkan jumlah petani gurem dan buruh tani. Padahal manfaat revolusi hijau berbanding lurus dengan luas lahan.
Inilah yang disebut Prof Sayogyo sebagai Modernization without Development karena modernisasi pertanian hanya menyentuh perbaikan nasib petani di lapisan atas (petani berlahan luas) sementara petani gurem dan buruh tani tidak terangkat nasibnya.
Mudah tetapi mahal
Dengan satu komoditi yaitu beras, kita sudah dihadapkan pada rumitnya persoalan pangan. Ini menjadi indikasi betapa kemandirian pangan belum menjadi isu utama yang dikerjakan. Indikatornya jelas, kita malah semakin tergantung pada impor sebagai solusi yang mudah tetapi mahal. Kita juga dicekam secara psikologis karena ketidakpastian akibat perubahan iklim yang berpengaruh pada produksi pangan dunia.
Kita belum mandiri pada bahan pangan apa pun. Tahun ini kita sudah ancang-ancang impor beras karena anomali cuaca dan serangan hama. Begitu juga kekurangan gula, kita mengimpor gula 30 persen dari kebutuhan nasional.
Pada waktu kekurangan daging sapi, setiap tahun kita mengimpor sekitar 600.000 ekor sapi, yang merupakan 25 persen dari konsumsi daging sapi nasional. Kekurangan garam, solusinya juga impor hingga waktu ini kita mengimpor rata-rata 1 juta ton garam/tahun, yang merupakan 50 persen dari kebutuhan garam nasional.
Kita juga mengimpor 45 persen dari kebutuhan kedelai; 10 persen kebutuhan jagung, 15 persen kebutuhan kacang tanah dan 70 persen kebutuhan susu (Siswono Yudo Hu-sodo, 2008). Belum lagi dengan pola makan kita yang semakin menjadikan mie sebagai bahan pangan pokok bersama beras membuat kita semakin tergantung pada impor gandum yang tak bisa kita produksi sendiri.
Produksi etanol sebagai bahan bakar bio-energi (biofuel) dari bahan pangan seperti jagung, tebu, dan CPO (crude palm oil) di Amerika Serikat pada tahun 2007 telah menyebabkan naiknya harga produk pertanian. Harga bahan pangan impor mulai beras, gula, CPO, jagung, dan gandum semuanya naik dua kali lipat dari harga semula.
Dari kenaikan harga beras sudah jelas akan menambah jumlah orang miskin. Sebab setiap kenaikan harga beras secara riil 1 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin pedesaan sebesar 0,24 persen (Mastiani, 2010). Penduduk miskin hampir 60-80 persen dari pendapatannya digunakan untuk belanja bahan pangan.
Dengan pendapatan yang tetap maka kenaikan harga beras akan direspon dengan mengurangi pembelian pangan sehingga berkurang pula tingkat konsumsi untuk hidup layak. Akibatnya, semakin banyak penduduk kita yang berangkat tidur dengan perut kosong karena lapar.
Kemandirian pangan yang tak mampu kita raih akan melemahkan ketahanan ekonomi bangsa kita karena devisa yang kita peroleh dibelanjakan untuk bahan konsumtif (pangan). Padahal pangan yang kita impor mampu kita produksi sendiri.
Sektor pertanian seharusnya dibangun sebagai pondasi ekonomi bangsa dengan menghasilkan berbagai jenis bahan pangan yang menjadi kebutuhan pokok kita. Kita tidak mungkin berangkat bekerja setiap hari untuk membangun Indonesia ini dengan perut lapar.
Anak-anak kita juga tidak mungkin berangkat sekolah dengan perut kosong. Alih-alih mengharapkan mereka menjadi generasi bangsa berkualitas yang berdaya saing tinggi, yang kita temukan justru bayangan tragedi hilangnya sebuah generasi (lost generation ) karena gizi buruk.
Sungguh bukan isapan jempol belaka bila dikatakan negeri ini diberi Tuhan karunia alam yang berlimpah-ruah. Keragaman agroklimat dengan luas lahan pertanian tropis terbesar di dunia membuat bumi nusantara ini sangat potensial untuk mandiri di bidang pangan.
Kita bisa menjadi eksportir produk-produk pertanian, baik produk segar maupun produk olahannya bila kita kerjakan melalui agroindustri.
Bila sektor pertanian menjadi sektor ekonomi unggulan yang dikembangkan seluruh potensinya kita mampu menjadi eks portir beras, teh, gula, tepung tapioka, kopi, coklat, gula tebu, minyak atsiri, jagung, lada putih, lada hitam, pala, minyak sawit, cengkeh, dan berbagai produk rempah-rempah dan obat-obatan serta berbagai produk-produk turunannya.
Kemandirian pangan akan menghapus kemiskinan karena meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghemat devisa, menjamin ketahanan pangan, menciptakan lapangan kerja, dan memberikan kebanggaan nasional. Hanya dari satu sektor saja yaitu pertanian sesungguhnya kita sudah bisa mencapai kemakmuran. Maka bila sektor ini belum juga mampu membebaskan warga bangsanya dari kelaparan maka itu karena salah urus dan kebijakan yang tak memihak. f Ir Norbertus Kaleka Pemerhati masalah pangan dan pertanian


sources: Wawasan

Post a Comment for "Menyoal kemandirian pangan nasional"